SISTEM
SOSIAL INDONESIA (PENDEKATAN TEORITIS)
BAB 2
Terdapat 2 sudut pendekatan
yang paling popular di antara pendekatan-pendekatan yang lain, yaitu pendekatan
fungsional structural dan pendekatan konflik. Sudut pendekatan tersebut
menganggap bahwa bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrrasi di atas dasar
kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu
general agreement yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Inti dasar dari Parsons
tentang pendekatan fungsional structural yaitu suatu system sosial, pada
dasarnya, tidak lain adalah suatu system dari pada tindakan-tindakan. Ia
terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang
tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang
di atas standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial ( yang
membentuk struktur sosial). Parsons lebih menekankan anggapan-anggapan dasarnya
pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah laku sosial, khususnya pada
proses-proses di mana hasrat-hasrat perorangan diatur secara normatif untuk
menjamin terpeliharanya stabilitas sosial.
Tetapi David Lockwood
menegasan bahwa setiap situasi sosial mengandung dua hal, yakni: tata tertib
sosial yang bersifat normatif dan substratum yang melahirkan
konflik-konflik. Tumbuhnya tata tertib
sosial justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam
masyarakat. Menurut pendekatan fungsional structural, disfungsi, ketegangan-ketegangan,
dan penyimpangan-penyimpangan sosial merupakan penyebab terjadinya
perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk diferensiasi sosial yang
semakin kompleks, adalah akibat dari pengaruh faktor-faktor yang datang dari
luar. Tetapi hal tersebut mengabaikan kenyatan-kenyatan sebagai berikut:
1)
Setiap struktur sosial, di dalam dirinya
sendiri, mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat
internal, yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya
perubahan-perubahan sosial.
2)
Reaksi dari suatu system sosial terhadap
perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra-systemic
change) tidak selalu bersifat adjustive.
3)
Suatu system sosial, di dalam waktu yang
panjang dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle.
4)
Perubahan-perubahan sosial tidak selalu
terjadi secara gradual melaului penyesuaian-penyesuaian yang lunak, akan tetapi
dapat juga terjadi secara revolusioner.
Sedangkan menurut pandangan
pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar dari pendekatan Structuralist-Non-Marxis berikut:
1)
Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam
proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau perubahan sosial merupakan
gejala yang melekat di dalam masyarakat.
2)
Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik
di dalam dirinya, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat.
3)
Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan
sumbangan tbagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4)
Setiap masyarakat terintegrasi di atas
penguasaan attau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang lain.
Pendekatan ini menegaskan
bahwa konflik tidak hanya sebagai gejala yang melekat pada masyarakat tetapi
konflik dianggap bersumber di dalam factor yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri. Adanya kenyataan bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan
(otoritas) secara tidak merata dan mengakibatkan timbulnya dua macam kategori
sosial yaitu: mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki
otoritas. Hal tersebut bagi para pendekatan konflik dianggap sebagai sumber
timbulnya konflik-konflik. Karena dalam pembagian ototitas akan menimbulkan
kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain.
Kepentingan-kepentingan
yang tidak disadari adanya maka ia disebut kepentingan-kepentingan yang
bersifat laten (latent interest), sedangkan
yang memilikinya disebut sebagai kelompok semu (quasi-groups). Kelompok kepentingan yang dimaksud mempunyai
karakteristik tersendiri yang berhubungan dengan suatu legitimasi atas suatu
pola hubungan-hubungan kekuasaan tertentu antara mereka yang memiliki kekuasaan
otoritatif dengan mereka yang tidak memiliki kekuasaan otoritatif. Dengan
demikian kelompok kepentingan disini yaitu yang berkenaan dengan perkumpulan
yang bersifat politis seperti serikat kerja dan partai politik.
Sementara itu suatu
kelompok semu tidaklah dengan sendirinya menjadi kelompok kepentingan. Menurut
Dahrendofr ada 3 macam prasyarat suatu kelompok semu dapat teroganisir ke dalam
bentuk kelompok kepentingan, yaitu:
1)
Kondisi-kondisi teknis, munculnya sejumlah
orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interest dari
suatu kelompok semu menjadi manifest interest berupa kebutuhan-kebutuhan yang
secara sadar ingin dicapai.
2)
Kondisi-kondisi politis, ada tidaknya
kebebasan politik untuk berorganisasi
yang diberikan oleh masyarakat.
3)
Kondisi-kondisi sosial, yakni adanya system
komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok semu
berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Tanpa kondisi- kondisi sosial yang
demikian, maka tersedianya pemimpin, ideology dan kebebasan berorganisasi belum
cukup menjamin bahwa para anggota kelompok kepentingan akan dapat direkrut
dengan mudah.
Sebagaimana telah
disebutkan karena kelompok tersebut berakar di dalam kepentingan-kepentingan
yang saling berlawanan satu sama lain, maka kelompok-kelompok kepentingan itu
senantiasa berada di dalam situasi konflik pula. Konsekuensi yang timbul
sebagai akibatnya ialah bertambahnya otoritas pada suatu pihak hal ini berarti
berkurangnya otoritas pada pihak lain.
Oleh karena itu, apa yang
dapat dilakukan orang hanyalah mengendalikan agar konflik yang terjadi di
antara berbagai kekuatan sosial yang saling berlawanan tidak akan terwujud di
dalam bentuk kekerasan. Bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang dapat dilakukan
yaitu:
1) Konsiliasi
(conciliation), pengendalian melalui
lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan
pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan
yang mereka pertentangkan.
2) Mediasi
(mediation), yakni kedua belah pihak
yang bersengketa bersama-sama bersepakat untuk menunjukan pihak ketiga yang
akan memberikan nasihat-nasihat nya tentang bagaimana mereka sebaiknya
menyelesaikan pertentangan mereka.
3) Perwasitan
(arbritation), yakni apabila pihak
yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya
pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.
Ketiga pengendalian konflik
tersebut baik dipandang sebagai cara-cara pengendalian konflik yang
bertingkat-tingkat maupun dipandang sebagai cara yang berdiri sendiri-sendiri,
memiliki daya kemampuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan
sosial dalam bentuk kekerasan. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme
pengendalian konflik-konflik sosial yang efektif, konflik-konflik sosial di
antara berbagai kelompok kepentingan justru akan menjadi kekuatan yang
mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang tidak akan mengenal akhir.
SISTEM
SOSIAL INDONESIA
(BAB
3: STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA )
Suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural
dan pendekatan konflik dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya
mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Consensus dan konflik merupakan dua
gejala yang melekat bersama-sama di dalam setiap masyarakat. Struktur
masyarakat indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara
horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasar
perbedaan-perbedaan suku, agama,daerah,adat. Secara vertikal struktur
masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan
atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan
daerah merupakan ciri dari masyarakat indonesia yang disebut sebagai masyarakat
majemuk.
Menurut Furnival Masyarakat indonesia pada masa
hindia-belanda merupakan suatu masyarakat majemuk yakni, suatu masyarakat yang
terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari
masyarakat Indonesia yang berisifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak
bersama (common will). Secara keseluruhan, masyarakat Hindia-Belanda
merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan
agama.
Di dalam kehidupan ekonomi, tidak ada kehendak bersama dalam
menemukan pernyataan dalam permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh
elemen masyarakat (common social demand). Kebutuhan-kebutuhan
keagamaan, politik, dan keindahan, pendek kata semua kebutuhan kultural yang
memiliki aspek ekonomi karena pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir
hanya sebagai kebutuhan ekonomi yakni permintaan atau demand
sebagai keseluruhan. Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk, permintaan
masyarakat tersebut tidaklah terorganisir, melinkan bersifat seksional
(sectional) dan tidak dihayati bersama elemen masyarakat.
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama
oleh semua elemen masyarakat mejadi sumber yang membedakan karakter daripada
ekonomi majemuk (plural economy) dari suatu masyarakat
majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat
yang bersifat homogeneous.
Keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini sudah pasti telah
jauh berbeda dari keadaan tersebut dan oleh karena itu pengertian masyarakat
majemuk sebagaimana digambarkan oleh Furnivall harus tidak dapat begitu saja
diperlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang.
Menurut
Furnivall, yakni suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai
kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya sehingga para angota masyarakat
kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan yang kurang
memiliki homogenitas atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling
memahami satu sama lain. Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat
yang terbagi-bagi ke dalam sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri
dimana masing-masing sub sistem terikat ke dalam ikatan yang bersifat primordial.
Piere L,van den Berge menyebutkan beberapa karakteristik
masyarakat majemuk :
1. Terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki
subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat non-komplementer
3. Kurang
mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang
bersifat dasar.
4. Secara
relatif sering kali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain.
5. Secara
relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coection) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya
dominasi pilitik oleh semua kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Oleh karena itu, suatu masyarakat majemuk tidak dapat
disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat
segmenter, akan tetapi juga tidak dapat disamakandengan masyarakat yang
terdiferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Maka masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang bersifat majemuk.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan plualitas masyarakat
indonesia :
1.
Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia dengan berbagai pulau.
2.
Indonesia terletak diantara samudera hindia dan samudera pasifik.
3.
Perbedaan iklim dan struktur tanah di kepulauan Nusantara.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan regional
merupakan dimensi-dimensi horisontal dari struktur masyarakat Indinesia.
Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia dari waktu ke
waktu dapat kita saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial
berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan.
SISTEM SOSIAL INDONESIA
(BAB 4: SRTUKTUR
KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA)
Perbedaan-perbedaan
suku bangsa, agama, regional dan pelapisan sosial tersebut secara analitis
memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan
semuanya jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi
dasar bagi terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tersebut
telah menghasilkan tejadinya berbagai “kelompok semu”, yang di dalam konteks
pengertian popular dapat kita sebut sebagai “golongan” yang akan menjadi sumber
di mana anggota-anggota “kelompok kepentingan”
terutama direkrut. Pengelompokan masyarakat Indonesia itu membawa akibat yang luas dan mendalam di dalam seluruh pola
hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat Indonesia. dimana adanya kelompok
semu setelah kemerdekaan telah berhasil diubah menjadi kelompok kepentingan
yang mempunyai tujuan bersama yang ingin dicapai.
Salah satu
kelompok kepentingan yang sangat khusus adalah apa yang kita kenal sebagai
partai politik. Pada awal pertumbuhannya Indonesia, kelompok-kelompok semacam
itu mula-mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang
bersifat sosialkultural daripada yang bersifat politis. Baru dikemudian hari
kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi
yang benar-benar bersifat politis, yakni di dalam bentuknya sebagai partai
politik. Di dalam hal ini hanya beberapa partai politik saja yang disebutkan
untuk sekedar menggambarkan sistem kepartaian di Indonesia memiliki dasarnya di
dalam watak yang dipunyai oleh struktur
masyarakat Indonesia.
Partai yang
pertama kali adalah Partai Masyumi (NU dan Muhammadiyah bergabung dengan
Masyumi), kemudian PNI, Partai Nahdatul Ulama, PNI, PKI, PSI, Parkindo dan lain
sebagainya. Konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia pada
masa-masa yang silam, untuk sebagian pada dasarnya merupakan konflik antara
kelompok-kelompok sosial-kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa,
agama, daerah dan stratifikasi sosial. Herbert Feith, melihat konflik-konflik
politik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan
yang terjadi antara pandangan dunia tradisional (Tradisi Hindu-jawa dan Islam)
disatu pihak, dengan pandangan dunia modern (khusussnya pandangan dunia barat)
di lain pihak.
Donald hindley, melihat keragaman pola kepartaian di Indonesia
bersumber di dalam dua macam penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat
silang-menyilang, yakni antara penggolongan yang bersifat keagamaan dengan
penggolongan yang berpandangan dunia tradisional dan yang berpandangan dunia
modern. Berhasil tidaknya fusi partai-partai politik itu sendiri, yang
sebagaimana kita ketahui terutama terjadi atas prakarsa pemerintah, justru akan
sangat tergantung pada seberapa jauh perubahan-perubahan sosial cultural yang
mendasari pola kepartaian di Indonesia itu akan terjadi pada masa-masa yang
akan datang.
SISTEM
SOSIAL INDONESIA
( BAB 5: STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA
DAN MASALAH INTEGRASI SOSIAL)
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah
menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi
secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh
masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat
vertikal.
Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan
dua hal yaitu: pertama, masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya
konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena
menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliations).
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari
terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk karena
tanpa keduanya maka tidak akan terbentuk masyarakat walaupun landasan tersebut
hanya berlaku dalam derajat yang bersifat sementara.
Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang
terikat kedalam ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda
satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Dalam hal ini ada dua
tingkatan konflik :
1) Konflik
ideologis
Konflik antar sistem
nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai kesatuan sosial.
2) Konflik
politius
Konflik dalam bentuk
pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi.
Dalam suatu konflik maka sadar atau tidak setiap pihak yang
berselisih akan berusaha mengabadikan diri di antara sesama anggotanya,
membentuk organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan
pertahanan bersama.
Menurut Liddle konflik dapat terselesaikan pabila muncul
integrasi nasional, dan integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang
apabila:
1. Sebagian
besar anggota masyarakat bersepakat tentang batas teritorial dari suatu negara.
2. Apabila
sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur
pemerintahan dan aturan politik yang berlaku bagi masyarakat tersebut.
Dengan perkataan lain, integrasi nasional akan terjain
apabila adanya konsensus tentang batas-batas masyarakat politik dan sistem
politik yang berlaku bagi masyarakat.
Ada indikator yang menggambarkan intensitas konflik politik
yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia dari tahun 1948-1967:
1. Demonstrasi
(a protest demonstration)
Sejumlah orangisasi
yang tidak menggunakan kekerasan untuk mengorganisir dirimelakukan protes
terhadap rezim atau kebujakan yang sedang direncanakan.
2. Kerusuhan
(riot)
Demonstrasi dengan
cara melakukan kerusuhan menggunakan kekuatan fisik dengan pengrusakan
barang-barang,pemukulan dalam mengungkapkan protes terhadap pihak yang menurut
mereka tidak benar.
3. Serangan
bersenjata (armed attack)
Tindakan kekerasan
yang dilakukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud
melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok kain. (pertumpahan
darah, pergulatan, pengrusakan barang-barang)
4. Jumlah
kematian akibat dari kekerasan politik
Salah satu perubahan politik yang paling penting yang dapat
dipakai sebagai indikator konflik politik adalah terjadinya perubahan di dalam
lembaga-lembaga eksekutif. Indikator ini dapat kita bedakan ke dalam dua macam
perubahan :
1. Reguler
excekutive transfer: Suatu pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat
nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara
yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur yang sudah
menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan
langsung.
2. Ireguler
power transfer: Pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari
suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa
lain melalui cara-cara yang tidak legal-konvensional atau prosedur-prosedur
yang tiada biasa.
Jadi dari sini dapat disimpulkan untuk tidak memberlakukan
kedua macam pendekatan yang telah berulang kali disebutkan yakni,
fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik secara sepihak. Sifat majemuk
masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya
konflik-konflik sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle dan
yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas
landasan coercion. Tanpa coercion, maka masyarakat Hindia-Belanda
sebagai keseluruhan akan punah oleh anarki.
Akan tetapi di lain pihak proses integrasi tersebut juga
terjadi di atas landasan konsensus bangsa Indonesia mengenai nilai-nilai
fundamental tertentu. Kelahiran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka
sangat jelas menunjukan betapa nasionalisme pancasila telah menjadi daya
spiritual yang sejak awal mempersatukan bangsa Indonesia.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan
sosial saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan
golongan yang bersifat silang menyilang pula. Cross cutting afiliation
yang demikian telah menyebabkan konflik antar golongan di Indonesia
bagaimanapun tidak menjadi terlalu tajam. bersama dengan tumbuhnya konsensus
nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancasila yang senantiasa
beranggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang
bersifat coercive,maka struktur masyarakat Indonesia yang silang
menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat
lestari dari masa ke masa, walaupun ia harus mengarungi samudera penuh dengan
berbagai gelombang dan badai pertentangan.
Referensi:
Nasikun. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm; 11-31.
Komentar
Posting Komentar