Hidupku
Ada Ditanganku
“Sudahlah, Sel!
Cobalah untuk meredam keinginanmu itu dan turuti keinginan mereka” Rayu Abel,
teman sekelasku sekaligus sahabat karibku juga.
“Menuruti
mereka? Dan mengorbankan cita-citaku? Itu bukan ide bagus.” Jawabku singkat.
“Baiklah. Tapi
orang tua mana yang ingin anaknya memiliki masa depan suram?”
“Cukup! Itu
bukan pilihan buruk. Kau pikir jika aku mengambil jurusan yang mereka inginkan
lantas bisa menjamin masa depan yang lebih baik?” Sahutku sedikit kesal dan
menjauhkan teh hangat yang sedari tadi kugunakan untuk menghangatkan tanganku
yang dingin.
Berdebat dengan
Abel tentang suatu hal yang selalu menjadi kegalauan
tersendiri bagi pelajar menengah atas tentang penjurusan kelas yang harus
dipilih. Itu bukan perkara mudah. Apalagi jika keinginan kita berbanding
terbalik dengan keinginan orang tua. Seperti diriku saat ini. Aku sangat
menyukai dunia sastra, sangat saja tidak cukup bahkan aku menikmati segala sesuatu
yang menyangkut sastra. Aku gemar membuat cerpen, komik, bahkan aku pernah
membuat novel yang nyaris dilirik penerbit. Ya, memang hampir tetapi setidaknya
bisa memotivasi diriku untuk berkarya.
“Ayah, Sely
mohon. Beri Sely kesempatan.” Rengekku dihadapan orang tua yang sedang
berkumpul diruang keluarga.
“Kau yakin jika
sastra itu bisa menjamin masa depanmu?”
“Setidaknya aku
menyukai apa yang akan menjadi pekerjaanku nantinya. Dunia jurnalis itu tak
selamanya buruk, Yah”
“Dan, haruskah
aku menjadi kutu buku? Setiap hari yang ada hanya belajar, belajar dan belajar
berkacamata bulat dan menghabiskan masa mudaku untuk bereksperiman dengan
hal-hal yang menurutku itu konyol” Tambahku sedikit membantah.
“Bukankah dokter
itu bukan profesi buruk ? Pikirkan hal itu.” Ungkap ayah yang masih duduk
dengan koran yang setia menemani sorenya.
“Bagaimana ini,
Bel ? Aku bahkan hampir putus asa untuk meyakinkan orang tuaku.”
“Sely, kau ini
tak bodoh. Kau cukup pintar, bukankah kau pantas untuk berada dikumpulan
anak-anak itu” Tukasnya sambil menunjuk segerombolan siswa yang hendak keluar
dari perpustakaan.
“Seperti mereka
yang setiap hari kerjaannya berkunjung ke perpustakaan demi mendalami ilmu
alam? Aku bahkan tak rela menghabiskan waktuku untuk itu lebih baik aku membuat
suatu karya yang bisa dinikmati semua orang. Bukankah itu lebih baik?” Elakku sambil
mengeryitkan bibir.
“Baiklah aku
menyerah. Semua keputusan ada ditanganmu. Tapi, aku berharap kau tak akan
menyesal dengan hal itu.” Ucapnya dengan sorot mata sedikit tajam yang mampu
membuatku berfikir bahwa setidaknya dia peduli dengan keadaanku.
“Menyesal? Hal
itu tak akan pernah terjadi dan akan kupastikan itu.” Jawabku yakin.
“Temui guru bimbingan konseling dan ceritakan
masalahnya nanti.” Saran Abel yang sedang serius memperhatikan mata pelajaran
favoritnya. Matematika.
“Apakah aku
harus berkonsultasi dengan pihak sekolah, Bel?”
“Setidaknya
mereka akan memberikan saran yang lebih realistis dibanding diriku bukan?”
Bel tanda pulang
sudah nyaring kudengar diujung telinga. Saatnya pulang dan mengisi selembar
kertas yang akan berisi tiga pilihan yang telah ku terima dari pihak sekolah.
“Sastra
Indonesia. Ilmu Pengetahuan Sosial. Ilmu Pengetahuan Alam” Kalimat itu ku ulang
berkali-kali sesaat setelah aku buka dan membacanya sampai bagian yang
mendebarkan itu.
“Apakah sudah
kau isi lembaran itu, Sel?” Suara Abel dari telepone yang sedang kugenggam.
“Bodoh. Bahkan
aku baru saja membukanya, hahaha.” Umpatku dengan tawa renyah.
“Sudah
kupastikan kau akan memilih bidang alam, bukan?” Imbuhku.
“Tentu. Aku
sudah selesai dengan penjurusan bahkan sesaat ketika aku baru tiba didalam
kamar.”
“Kau antusias
sekali, Putri Abel.”
“Bagaimana
dengan dirimu sendiri, Salsabila Ami Sa’ache?” Tanyanya yang membuatku berhenti
seketika.
“Sel? Sely? Apa
kau masih disana? Jawab pertanyaanku.”
“A..ah, iya
tentunya masih. Aku hanya bingung harus memilih apa. Bahkan orang tuaku tak ku
beri tahu bahwa hari ini adalah penjurusan bidang.” Jawabku yang sedikit kaget
karena lamunan lama.
“Ini bahkan
buruk. Tiga bulan setelah penjurusan dan aku memilih sastra indonesia, kau
tahu? Orang tuaku mendiamkanku dan ini memperburuk keadaan.”
“Jika hal itu
tak membuatmu nyaman, setidaknya kau harus menunjukkan kepada mereka bahwa kau
mampu berprestasi.” Saran Abel.
“Aku tak
menyesal dengan keputusanku beberapa tahun silam. Bahkan aku mampu berprestasi
seperti yang disarankan Abel, sahabat karibku itu. Kini aku telah bekerja disebuah
perusahaan tv swasta, tentunya menjadi seorang penulis naskah perfilman. Bahkan
sudah ada karyaku yang dipublikasikan ke layar lebar dan aku mendapat
penghargaan sebagai penulis naskah terbaik sepanjang 3 tahun. Ayahku bisa
menerima kenyataan dan tentunya beliau bangga terhadap hasil pendidikan yang ku
pilih sewaktu masih dibanggu menengah atas.”
Komentar
Posting Komentar