Partisipasi Lomba Cerpen (redaksibassic) 27 Maret 2013

Hidupku Ada Ditanganku

“Sudahlah, Sel! Cobalah untuk meredam keinginanmu itu dan turuti keinginan mereka” Rayu Abel, teman sekelasku sekaligus sahabat karibku juga.
“Menuruti mereka? Dan mengorbankan cita-citaku? Itu bukan ide bagus.” Jawabku singkat.
“Baiklah. Tapi orang tua mana yang ingin anaknya memiliki masa depan suram?”

“Cukup! Itu bukan pilihan buruk. Kau pikir jika aku mengambil jurusan yang mereka inginkan lantas bisa menjamin masa depan yang lebih baik?” Sahutku sedikit kesal dan menjauhkan teh hangat yang sedari tadi kugunakan untuk menghangatkan tanganku yang dingin.
Berdebat dengan Abel tentang suatu hal yang selalu menjadi kegalauan tersendiri bagi pelajar menengah atas tentang penjurusan kelas yang harus dipilih. Itu bukan perkara mudah. Apalagi jika keinginan kita berbanding terbalik dengan keinginan orang tua. Seperti diriku saat ini. Aku sangat menyukai dunia sastra, sangat saja tidak cukup bahkan aku menikmati segala sesuatu yang menyangkut sastra. Aku gemar membuat cerpen, komik, bahkan aku pernah membuat novel yang nyaris dilirik penerbit. Ya, memang hampir tetapi setidaknya bisa memotivasi diriku untuk berkarya.
“Ayah, Sely mohon. Beri Sely kesempatan.” Rengekku dihadapan orang tua yang sedang berkumpul diruang keluarga.
“Kau yakin jika sastra itu bisa menjamin masa depanmu?”
“Setidaknya aku menyukai apa yang akan menjadi pekerjaanku nantinya. Dunia jurnalis itu tak selamanya buruk, Yah”
“Dan, haruskah aku menjadi kutu buku? Setiap hari yang ada hanya belajar, belajar dan belajar berkacamata bulat dan menghabiskan masa mudaku untuk bereksperiman dengan hal-hal yang menurutku itu konyol” Tambahku sedikit membantah.
“Bukankah dokter itu bukan profesi buruk ? Pikirkan hal itu.” Ungkap ayah yang masih duduk dengan koran yang setia menemani sorenya.
“Bagaimana ini, Bel ? Aku bahkan hampir putus asa untuk meyakinkan orang tuaku.”
“Sely, kau ini tak bodoh. Kau cukup pintar, bukankah kau pantas untuk berada dikumpulan anak-anak itu” Tukasnya sambil menunjuk segerombolan siswa yang hendak keluar dari perpustakaan.
“Seperti mereka yang setiap hari kerjaannya berkunjung ke perpustakaan demi mendalami ilmu alam? Aku bahkan tak rela menghabiskan waktuku untuk itu lebih baik aku membuat suatu karya yang bisa dinikmati semua orang. Bukankah itu lebih baik?” Elakku sambil mengeryitkan bibir.
“Baiklah aku menyerah. Semua keputusan ada ditanganmu. Tapi, aku berharap kau tak akan menyesal dengan hal itu.” Ucapnya dengan sorot mata sedikit tajam yang mampu membuatku berfikir bahwa setidaknya dia peduli dengan keadaanku.
“Menyesal? Hal itu tak akan pernah terjadi dan akan kupastikan itu.” Jawabku yakin.

 “Temui guru bimbingan konseling dan ceritakan masalahnya nanti.” Saran Abel yang sedang serius memperhatikan mata pelajaran favoritnya. Matematika.
“Apakah aku harus berkonsultasi dengan pihak sekolah, Bel?”
“Setidaknya mereka akan memberikan saran yang lebih realistis dibanding diriku bukan?”

Bel tanda pulang sudah nyaring kudengar diujung telinga. Saatnya pulang dan mengisi selembar kertas yang akan berisi tiga pilihan yang telah ku terima dari pihak sekolah.
“Sastra Indonesia. Ilmu Pengetahuan Sosial. Ilmu Pengetahuan Alam” Kalimat itu ku ulang berkali-kali sesaat setelah aku buka dan membacanya sampai bagian yang mendebarkan itu.
“Apakah sudah kau isi lembaran itu, Sel?” Suara Abel dari telepone yang sedang kugenggam.
“Bodoh. Bahkan aku baru saja membukanya, hahaha.” Umpatku dengan  tawa renyah.
“Sudah kupastikan kau akan memilih bidang alam, bukan?” Imbuhku.
“Tentu. Aku sudah selesai dengan penjurusan bahkan sesaat ketika aku baru tiba didalam kamar.”
“Kau antusias sekali, Putri Abel.”
“Bagaimana dengan dirimu sendiri, Salsabila Ami Sa’ache?” Tanyanya yang membuatku berhenti seketika.
“Sel? Sely? Apa kau masih disana? Jawab pertanyaanku.”
“A..ah, iya tentunya masih. Aku hanya bingung harus memilih apa. Bahkan orang tuaku tak ku beri tahu bahwa hari ini adalah penjurusan bidang.” Jawabku yang sedikit kaget karena lamunan lama.

“Ini bahkan buruk. Tiga bulan setelah penjurusan dan aku memilih sastra indonesia, kau tahu? Orang tuaku mendiamkanku dan ini memperburuk keadaan.”
“Jika hal itu tak membuatmu nyaman, setidaknya kau harus menunjukkan kepada mereka bahwa kau mampu berprestasi.” Saran Abel.

“Aku tak menyesal dengan keputusanku beberapa tahun silam. Bahkan aku mampu berprestasi seperti yang disarankan Abel, sahabat karibku itu. Kini aku telah bekerja disebuah perusahaan tv swasta, tentunya menjadi seorang penulis naskah perfilman. Bahkan sudah ada karyaku yang dipublikasikan ke layar lebar dan aku mendapat penghargaan sebagai penulis naskah terbaik sepanjang 3 tahun. Ayahku bisa menerima kenyataan dan tentunya beliau bangga terhadap hasil pendidikan yang ku pilih sewaktu masih dibanggu menengah atas.”

Komentar