PENDIDIKAN DI INDONESIA
1.
Feel need and Real need
Ø Feel
need :
-
Pendidikan
di Indonesia terpuruk
Pendidikan di Indonesia masih
tertinggal, bahkan terpuruk. Padahal pendidikan adalah pilar untuk pembangunan
nasional.Untuk membenahinya, arah pendidikan nasional masih perlu ditata.Hal
ini disampaikan oleh Wapres Hamzah Haz saat melakukan kunjungan kerja Pondok
Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (29\/6\/2004).
Di depan ribuan santri dan pengasuh pondok pesantren itu, Wapres mengingatkan
bahwa keterpurukan dunia pendidikan di Indonesia ini juga tidak terlepas dari
kurangnya dana yang dialokasikan pemerintah.
Ø Real
need :
-
Akses
pendidikan di Indonesia belum merata.
Menurut Education For All Global Monitoring
Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil
pemantauan pendidikan dunia, dari 127 negara, Education Development Index (EDI)
Indonesia berada pada posisi ke-69. Indonesia kalah dibandingkan Malaysia (65)
dan Brunei (34).akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian,
lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara
dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54 persen
guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19 persen
bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki.
“Sekretaris
Jenderal Gerakan Indonesia Pintar (GIP), Alpha Amirrachman PhD, mengatakan “Akses
pendidikan belum merata, tak semua anak yang berusia sekolah biasmengenyam
pendidikan yang layak"Dia menjelaskan kurang lebih 2,5 juta anak yang
terdiri 600.000 anak usia sekolah dasar dan 1,9 juta anak usia sekolah menengah
pertama tidak bisa melanjutkan sekolah.”
-
Jumlah masyarakat buta
huruf masih tinggi.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan sebanyak 6,2 juta
masyarakat Indonesia masih menyandang buta huruf atau aksara. Mereka umumnya
perempuan dan berada di daerah padat penduduk. Menurut Mantan Ibu Negara, Ani Yudhoyonofaktor pendidikan menjadi salah
satu penyebab yang kemiskinan di daerah tersebut.
Berdasarkan
data yang dimiliki, penyandang buta huruf di Indonesia tersebar di 27 Kabupaten
dengan penduduk yang cukup padat seperti, Jember Jawa Timur, Madura, Papua,
Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Karawang, Jawa Barat. Saat ini ada penurunan sekitar 3% jumlah penyandang buta huruf bila
dibandingkan tahun sebelumnya.
-Kualitas Pembelajaran belum Maksimal
Kualitas
pembelajaran di Indonesia dinilai masih belum baik diukur dengan proses
pembelajaran ataupun hasil belajar siswa. Berbagai studimengungkapkan bahwa
proses pembelajaran di kelas umumnya tidak berjalansecara interaktif sehingga
tidak dapat menumbuhkan kreativitas dan dayakritis, dan kemampuan analisis
siswa. Selama ini kompetensi sebagai hasil daripembelajaran yang sangat penting
untuk diukur dan dimiliki siswa justrukurang diperhatikan. Hasil belajar siswa
juga masih belum menggembirakan.
Pada
Ujian Nasional (UN) tahun 2013, hanya sekitar 56 siswa SMP/MTs dan66% siswa
SMA/SMK/MA yang mencapai batas minimal nilai UN murni. Selainitu, hasil UN
masih sangat senjang baik dilihat secara antarsiswa,antarsekolah, maupun
antardaerah di samping mengindikasikan terjadinyakesenjangan gender.Capaian
mutu pendidikan Indonesia yang masih jauh di bawah capaian negaramaju atau
bahkan di bawah negara-negara tetangga Indonesia menjadicatatan dalam
pembenahan mutu pendidikan di Indonesia. Nilai PISAMatematika tahun 2012
menunjukan rata-rata capaian kompetensi siswaIndonesia berada pada level 1.
Kondisi ini mendudukkan Indonesia di bawahSingapura, Malaysia, Thailand, atau
bahkan Vietnam.
(RenstraKemdikbud2015-2019.pdf)
-
Rendahnya Mutu Kemahiran Membaca
dan Semakin Punahnya PenggunaanBahasa dan Sastra Daerah
Rendahnya
mutu kemahiran membaca siswa di Indonesia ditunjukkan antaralain, survei PISA
Tahun 2012 dengan perolehan nilai sebesar 396. PosisiIndonesia di bawah nilai
rata-rata Malaysia (398) dan Thailand (441). Kendala peningkatan mutu kemahiran
membaca siswa dipengaruhi oleh kompetensipendidik, standar mutu penggunaan
bahasa pembelajaran, sistempembelajaran, dan sumber daya pembelajaran bahasa
dan sastra. Lebihlanjut, studi USAID (2014) menunjukkan bahwa rata-rata 47,2%
murid kelas 1dan 2 di Indonesia yang siap naik kelas 3 karena membaca lancar
dan paham artinya. Sisanya sebanyak (i) 26,3% meski membaca lamban namun
mengertiarti bacaan (ii) 20.7% tergolong pemula yakni gabungan pembaca lancar
danlamban namun tidak mengerti artinya; dan (iii) 3% tergolong non-pembaca(non-reader)
karena walau telah dua tahun bersekolah, mereka belummengenal huruf. Secara
nasional, kemampuan membaca murid rendah yangdiperparah oleh kondisi lebarnya
ketimpangan literasi antara wilayah baratdan wilayah timur Indonesia serta
antara perkotaan dan pedesaan di dalamkabupaten.
(RenstraKemdikbud2015-2019.pdf)
2.
Conceptualization
Berikut beberapa data mengenai
hasil buruk yang dicapai dunia pendidikan Indonesia pada beberapa tahun
terakhir.
a.
Sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak
memenuhi standar layanan minimalpendidikan.
b. Nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya
44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75.
c.
Indonesia
masuk dalam peringkat 40 dari 40 negara, pada pemetaan kualitas pendidikan,
menurut lembaga The Learning Curve.
d. Dalam pemetaan di bidang pendidikan tinggi, Indonesia
berada di peringkat 49, dari 50 negara yang diteliti.
e.
Pendidikan
Indonesia masuk dalam peringkat 64, dari 65 negara yang dikeluarkan oleh
lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), pada tahun 2012.
Anies mengatakan, tren kinerja pendidikan Indonesia pada pemetaan PISA pada
tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012, cenderung stagnan.
f. Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang
dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu,
Anies mengatakan, dalam dua bulan terakhir, yaitu pada Oktober hingga November,
angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia
mencapai 230 kasus.(http://edukasi.kompas.com/read/2014/12/01/13455441/Anies.Baswedan.Sebut.Pendidikan.Indonesia.Gawat.Darurat?utm_source=news&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related&)
g.
Rendahnya
jaminan kualitas pelayanan pendidikan. Sampai dengan
tahun 2013 sebanyak 68,7% SD/MI dan 62,5% SMP/MTsterakreditasi minimal B. Hal
itu menunjukkan bahwa kualitas layananpendidikan dasar masih rendah, sedangkan
di sisi lain kualitas layananpendidikan menengah belum merata antara SMA dan
SMK. Saat inisebanyak 73,5% SMA/MA sudah terakreditasi minimal B sementara
hanya48,2% kompetensi keahlian SMK berakreditasi minimal B. Penyebab
utamarendahnya kualitas layanan pendidikan dasar dan menengah berkaitandengan
terbatasnya pemahaman sekolah akan kewajiban untuk memenuhiStandar Nasional
Pendidikan (SNP). Di samping itu, peningkatan mutulayanan pendidikan belum dirancang
berdasarkan proses penjaminan mutupendidikan sehingga mutu pembelajaran sering
tidak tepat sasaran dantidak sesuai dengan kebutuhan sekolah.
h.
Lemahnya
pelaksanaan kurikulum. Penerapan Kurikulum 2013 secara cukup
masif pada tahun 2014 secaraberdampingan dengan Kurikulum 2006, menimbulkan
beberapa masalah.Kurikulum 2013 dinilai sebagian pihak belum cukup dikaji dan
belummengalami uji coba yang memadai untuk diterapkan secara demikianmasif.
Masalah bertambah karena keterbatasan materi ajar serta masihrendahnya
pemahaman pendidik, kepala sekolah, dan orang tua. Olehkarena itu, perlu
dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadappelaksanaan Kurikulum 2013.
i.
Lemahnya
sistem penilaian pendidikan. Sistem penilaian pendidikan yang
komprehensif dan terpercaya belumsepenuhnya terbangun. Hal ini antara lain
dapat dilihat dari belum adanya:(i) keandalan dan kesahihan sistem ujian
nasional; (ii) minimnya upayauntuk memperkuat lembaga penilaian pendidikan yang
independen; (iii)belum adanya peninjauan ulang atas peran, struktur, dan sumber
dayapusat penilaian pendidikan; (iv) belum dimanfaatkannya hasil
pemantauancapaian belajar siswa sebagai informasi peningkatan kualitas
pembelajaransecara berkesinambungan; serta (v) terbatasnya kemampuan
pendidikdalam memberikan penilaian formatif.
(RenstraKemdikbud2015-2019.pdf)
Sehingga yang
menjadi permasalahan utama pendidikan di Indonesia adalah kurangnya akses
pendidikan dan sarana serta prasarana sekolah yang belum memadai.
3.
Formulatization of Political Decision
Jokowi-JK dalam kampanye Pilres
menyebutkan 66 janji yang diantaranya menyangkut masalah pendidikan di
Indonesia. Diantaranya:
a. Jokowi janji beri berapapun anggaran pendidikan
Dalam debat capres kedua tentang
Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, capres Prabowo Subianto bertanya
kepada capres Jokowi tentang anggaran untuk investasi pendidikan sebesar 40
triliun. Prabowo bertanya apakah jokowi seyuju dengan anggaran sebesar itu?
Jokowi menjawab, “ Jadi berapapun (anggaran) yang dibutuhkan untuk investasi
pendidikan kedepan, apalagi Cuma Rp. 40 triliun, asal efisiensi bidang
kelistrikan bisa beralih menggunakan gas, batu bara, itu kami hitung bisa
menghemat Rp.70 triliun”
“Sehingga pendidikan menjadi
fokus utama kami agar Indonesia memiliki manusia-manusia dengan produktivitas
tinggi. Agar kekayaan alam kita kelola warga Indonesia sendiri, itu bari bisa
dilakukan dengan syarat masyarakat memiliki pendidikan tinggi”
b.
Jokowi janji hapus ujian
nasional
Saat menghadiri Lokakarya Peningkatan Kualitas Guru di
Hermes Palace di Kota Medan, Sumatra Utara, Selasa ( 10/6/2014), Jokowi
menegaskan sistem UN akan dirombak jika terpilih sebagai presiden. UN akan
ditiadakan dan diganti dengan pendidikan karakter, etika, dan budi pekerti. “ Inilah
rovolusi mental. Untuk SD 80% budi pekerti, 20% pengetahuan. SMP 60% budi
pekerti, 40% pengetahuan. Di SMA baru 20%-80%,” ujarnya.
c.
Membantu meningkatkan mutu pendidikan
pesantren guna meningkatkan kualitas pendidikan nasional dan Menigkatkan
kesejahteraan guru-guru pesantren sebagai bagian komponen pendidik bangsa.
“Jika kami terpilih sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia, kami berkomitmen untuk menjalankan
program-program nyata,” kata Jokowi membacakan 9 programnya.
Nomor 8 dari program tersebut berisi,
Membantu meningkatkan mutu pendidikan pesantren guna meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Meningkatkan kesejahteraan guru-guru pesantren sebagai
bagian komponen pendidik bangsa. Dan nomor 9 dari program tersebut berisi,
Mewujudkan pendidikan seluruh warga negara termasuk anak petani, nelayan, butuh
termasuk difabel dan elemen masyarakat lain melalui Kartu Indonesia Pintar.
d. Meningkatkan kualitas pendidikan melalui pembenahan tenaga pengajar yang
punya kemampuan merata diseluruh Nusantara
Komisi
Pemilihan Umum ( KPU ) menggelar debat cawapres antara
Hatta Rajasa dengan Jusuf Kalla ( JK ). Tema debat yang diangkat mengenai pengembangan
Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek).
JK fokus
terhadap pemerataan tenaga pendidik di seluruh Indonesia.Ia ingin kualitas pendidikan dibenahi dari tenaga pengajar yang punya kemampuan
merata diseluruh Nusantara.
Dia juga
berkomitmen akan menghargai para tenaga ahli yang mengabdi untuk Indonesia
dengan meningkatkan gaji. Sehingga orang Indonesia yang punya kemampuan lebih
memilih bekerja di negaranya sendiri ketimbang bekerja untuk bangsa lain.
e. Menaikkan gaji guru
Cawapres
nomor urut dua, Jusuf Kalla ( JK) menjawab pertanyaan lawan debatnya Hatta Rajasa
mengenai revolusi mental. Dalam sesi tanya jawab itu, Hatta bertanya mengenai
konsep revolusi menurut JK. Revolusi mental ini, kata JK, juga berfokus pada
pendidikan nasional.Termasuk menaikkan tunjangan para pengajar untuk
meningkatkan kualitas pendidikan."Guru harus diperbaiki dengan cepat.
Tunjangan diperbesar.Proses cepat itulah yang dinamakan dengan revolusi,"
ujarnya.
f. Sekolah gratis
Dalam debat
cawapres yang diadakan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, cawapres nomor urut dua Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa pendidikan gratis adalah sebuah
keniscayaan. Dalam debat cawapres yang dimoderatori oleh Dwikorita Karnawati,
Wakil Rektor UGM ini, JK mengatakan, bahwa pendidikan gratis tidak perlu
diperdebatkan lagi.
"Pendidikan
gratis adalah keniscayaan.Otomatis harus kita laksanakan.Begitu kita telah
sepakat maka kita sepakat," ujar JK.Tak hanya mengomentari mengenai
pendidikan gratis, JK juga menegaskan bahwa tak masalah jika ada sekolah yang
tetap membayar agar tidak ada dua kelas dalam pendidikan.
"Antar
sekolah harus ada kerjasama.Sekolah gratis dengan sekolah yang membayar harus
ada kerjasama dengan sekitarnya.Misalnya, dapat memakai fasilitas
bersama-sama.Sehingga dengan kerjasama tersebut tidak menimbulkan gap antar
sekolah," pungkas JK.
(http://www.merdeka.com/politik/5-janji-jusuf-kalla-di-pengembangan-sdm-dan-iptek/sekolah-gratis.html)
4.
Legalization
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional;
c.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara;
d.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional;
e.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen;
f.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005—2025;
g.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2008 Tentang
Wajib
Belajar;
h.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 60 Tahun 2013 tentang
Pengembangan
Anak Usia Dini Holistik dan Integratif;
i.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015—2019;
j.
Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun
2015 tentang Kementerian Pendidikan
dan
Kebudayaan;
k.
Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014
tentang Pedoman penyusunan dan Penelaahan Rencana
Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) 2015—2019; dan
l.
Permendikbud Nomor 11 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Saat ini regulasi tertulis tentang program wajib belajar
12 tahun masih dalam tahap pembuatan/ belum ditetapkan. Network For Education
Watch Indonesia (NEW Indonesia) atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendesak
agar MK segera membuat regulasi tertulis terkait program wajib belajar 12
tahun.
Network
For Education Watch Indonesia (NEW Indonesia) atau Jaringan Pemantau Pendidikan
Indonesia secara resmi mendaftarkan uji materiPasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait wajib belajar 9 tahun.
Pasal
itu dianggap sudah tidak relevan lagi untuk kondisi pendidikan di Indonesia
saat ini, seharusnya wajib belajar lebih dari 9 tahun.Pasal 6 ayat (1)
menyebutkan, “Setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar.”Wajib belajar yang berlaku di Sekolah Dasar (SD) hingga
Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah tidak mampu melindungi hak pendidikan
warga negara. Sebab, banyak anak-anak usia sekolah lanjutan tidak lagi
melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Apabila
negara hanya mewajibkan sekolah 9 tahun, bagaimana mungkin anak-anak tersebut
mendapatkan pekerjaan, sedangkan saat ini tidak ada lowongan pekerjaan yang
dibuka untuk orang yang hanya lulusan kelas 9 (SMP),”ujar Koordinator Nasional
NEW Indonesia, Abdul Waidl.
Abdul
menilai Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas tak sejalan denganPasal 28C ayat (1),
Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk mendapatkan
pendidikan layak yang wajib dibiayai pemerintah dalam rangka meningkatkan
kualitas hidupnya. “Kita ingin negara mendanai semua biaya pendidikan minimal
12 tahun, tidak boleh lagi ada pungutan-pungutan satu rupiah pun,” tegasnya.
“Karena
itu, kita minta agar MK menyatakan Pasal 6 UU ayat (1) sepanjang frasa
“yangberusia tujuh sampai dengan lima belas tahun” adalah inkonstitusional dengan
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 apabila tidak diartikan “setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan 12 tahun’,” pintanya.
Program wajib
belajar di Indonesia secara historis telah diselenggarakan selama dua kali
periode. Pertama, program wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun (SD) yang
dicanangkan pada pada 2 Mei 1984. Kedua, pada tahun 2009 program wajib 9 tahun
(SD dan SMP). Pada tahun 2009, secara nasional program wajar 9 tahun oleh pemerintah
dicanangkan telah tuntas.
Kerangka regulasi dan
kelembagaan tercantum pada Buku II Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 Bab 2 halaman
149-150
5.
Formulation of Politics and Plans
a.
Buku I Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
Bab 2 halaman 19-20
Peningkatan
Kualitas SDM
b.
Buku I Rancangan Awal RPJMN 2015-201 Bab
3 halaman 36
Tabel 3.1
Kebijakan Dalam Memanfaatkan Bonus Demografi, kebijakan strategisnya yaitu
memperluas pendidikan menengah universal ( pendidikan 12 tahun)
c.
Buku I Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
Bab 6 halaman 134-138
Pembangunan
Pendidikan Khususnya Pelaksanaan Program Indonesia Pintar, sasarannya melalui
pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun
d.
Buku II Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
Bab I halaman 67
Arah Kebijakan
Untuk Peluasan dan Peningkatan Pelayanan Dasar Bagi Masyarakat Kurang Mampu
Tabel 1.6 Paket
Pelayanan Dasar
6.
Programming
a.
Buku II Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
Bab 2 halaman 34-68
Pendidikan
b.
Buku II Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
Bab 2 halaman 121-137
Arah
Kebijakan dan Strategi Pendidikan
c.
RenstraKemdikbud
2015-2019 halaman 27
Melaksanakan
Wajib Belajar Pendidikan 12 Tahun yang Berkualitas
d. Misi
Renstra Kemendikbud 2015—2019 nomor 2
7. Implementation
-
BOS
Mendukung Pelaksanaan Sekolah Gratis
Pemerintah telah menetapkan pendidikan wajib diberikan
minimal 12 tahun atau setingkat SMA. Dengan penetapan ini, pemerintah
menyediakan dana pendidikan tingkat SD – SMA melalui Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Program ini kemudian diperkuat oleh BOS Daerah sehingga semakin
meningkatkan akses dan kuailtas pendidikan di Indonesia.
Konstitusi mengamanahkan biaya pendidikan ditetapkan 20%
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) agar cukup untuk membiayai
pendidikan. Oleh sebab itu, sejak tahun 2009, Pemerintahan Presiden SBY sudah
memenuhi amanah Konstitusi tersebut dengan menetapkan anggaran pendidikan
sebesar 20% APBN, bahkan pemerintah telah menetapkan wajib belajar menjadi 12
tahun dari sebelumnya 9 tahun.
Dengan adanya dana BOS, kegiatan belajar-mengajar bisa
digratiskan, karena seluruh biaya operasional sekolah ditanggung pemerintah.
Hal inilah yang membuat akses pendidikan semakin meluas dan terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat.Hal ini yang dirasakan masyarakat Sragen khususnya
pelajar dari keluarga kurang mampu. Alokasi dana BOS SD/SMP di Kabupaten Sragen
untuk 2014 mencapai Rp73,5 miliar, angka ini lebih tinggi dibandingkan alokasi
2013 sebesar Rp72,4 miliar. Dana tersebut juga didukung alokasi dari APBD 2013
untuk pendidikan sebesar Rp125 miliar, dan di tahun 2014 menjadi Rp89
miliar.
Penerapan sekolah gratis bisa terlaksana setelah
pemerintah menerapkan pembebasan biaya sekolah melalui Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Dana BOS terus ditingkatkan dari Rp 5,14 triliun
pada tahun 2005, Rp 10,28 triliun (2006), Rp 9,84 triliun (2007), Rp
10,01 triliun (2008), Rp 16,4 triliun (2009), Rp 16,6 triliun (2010), Rp 19,86
triliun (2011), Rp 27,67 triliun (2012), Rp 27,48 triliun (2013) dan Rp
28,17 triliun (2014).
Dalam rangka membantu keluarga miskin, pemerintah
menyediakan Bantuan Siswa Miskin (BSM) untuk jenjang SD – SMA, dan sejak tahun
2009 memberikan Beasiswa Bidik Misi untuk mahasiswa. Jumlah siswa penerima BSM
tahun 2013 tercatat 16 juta siswa dengan anggaran Rp 6 triliun. Sementara
jumlah penerima beasiswa Bidik Misi tahun 2009 – 2013 tercatat 91.412 mahasiswa
dengan alokasi anggaran Rp 914,12 miliar. Adanya BSM dan beasiswa tersebut
diharapkan semakin memudahkan siswa dari keluarga miskin untuk terus mengenyam
pendidikan sehingga diharapkan akan memotong mata rantai kemiskinan.
-
Kartu Indonesia
Pintar
Dalam
rapat koordinasi pertama itu dibahas juga tentang rencana distribusi Kartu
Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), awal November 2014.
Sebagai tahap uji coba, Presiden Joko Widodo membagikan kartu itu kepada 500
kepala keluarga di Sinabung saat berkunjung ke Sinabung, Sumatera Utara,
kemarin.
8.
Concurrent, Evaluation, Evaluation Of Result
- Concurrent
BSM hanya menjangkau anak-anak yang sudah ada di sekolah,
sedangkan KIP menjangkau semua anak usia sekolah meskipun tidak berada di
sekolah. BSM juga dinilai Anies tidak mengimbau anak untuk bersekolah dan KIP
diharapkan bisa mengimbau sekolah menerima kembali anak yang tak sekolah.
Distribusi kedua kartu pintar diprioritaskan kepada
keluarga prasejahtera terlebih dahulu.Untuk masalah anggaran, lanjut Puan,
sudah disiapkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.”Kapan tepatnya
dan bagaimana prosesnya masih dibahas dan dikoordinasikan pada rakor (rapat
koordinasi)”.
-
Evaluation
”Mulai
tahun 2015, masyarakat akan menikmati wajib belajar (wajar) 12 tahun,” kata
Puan. Sesuai janji Kabinet Kerja, program wajib belajar 12 tahun akan dimulai
pada 2015. Jika wajib belajar itu sudah ditetapkan, berarti semua anak usia
sekolah wajib masuk sekolah dan pemerintah wajib membiayai serta menyediakan
segala fasilitasnya. Namun, pelaksanaan wajib belajar ini tetap harus menunggu
payung hukum. Hal itu dikemukakan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan Puan Maharani seusai rapat koordinasi dengan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Anies Baswedan, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Badan
Usaha Milik Negara Rini Mariani Soemarno, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Yohana Yembise di Jakarta, Rabu (29/10).
-
Evaluation Of
Result
Evaluasi hasil kinerja program pemerintah
Kemendikbud tahun 2014 diambil dari LAKIP (Laporan Akhir Kinerja Pemerintah)
tahun 2014:
1. Permasalahan yang dihadapi Kemendikbud
Terdapat di Halaman 6 (LAKIP
tahun 2014)
2. Salah satu Program Kemendikbud
diantaranya:
a.
Pengembangan SDM Pendidikan dan kebudayaan dan
Penjaminan Mutu pendidikan dilaksanakan oleh unit utama pelaksana Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan.
b.
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dilaksanakan oleh unit
utama pelaksana Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Terdapat di Halaman 7 (LAKIP tahun 2014)
3. Berikut grafik tren penurunan
penduduktuna aksara usia 15-59 tahun selama lima tahun terakhir dari tahun 2010
sampai dengan tahun 2014.
Terdapat di halaman 26 dan
27 (LAKIP tahun 2014)
4. Rincian tingkat pencapaian BOS
Terdapat
di halaman 65 (LAKIP tahun 2014)
5. Tahun 2014 ini telah dialokasikan BSM
kepada 425.033 siswa SMA dan kepada 550.000 siswa SMK, serta kepada 7.300 Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Berikut rincian capaian pelaksanaan program BSM
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Terdapat di halaman 68 dan 69 (LAKIP tahun 2014)
Jadi data di atas adalah hasil
program kinerja pemerintah Kemendikbud tahun 2014, sedangkan hasil program
Kemenristek 2015 belum ada, karena program wajib belajar 12 tahun baru
dilaksanakan tahun 2015 ini, itu pun pelaksaannya belum merata keseluruh Indonesia, tapi masih dalam
tahap uji coba di Sumatra Utara.
Komentar
Posting Komentar