Reformasi
Administrasi: Revolusi Mental (Perilaku) Aparatur Sipil Negara
pic from PKP2A II LAN Makassar - LAN |
Munculnya kebutuhan akan reformasi
administrasi sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak
berfungsinya perubahan administrasi (stagnan) yang alamiah ini menyebabkan
diperlukannya reformasi administrasi (Caiden, 1969: 65).
Dengan kata lain tidak
berjalannya perubahan administrasi sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntutan
keadaan, karenanya diperlukan usaha yang sadar dan terencana untuk mengubah
struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi kelembagaan, sikap dan
perilaku birokrat/aspek perilaku atau kinerja), meningkatkan efektivitas
organisasi (aspek program), sehingga dapat diciptakan Administrasi Negara yang
sehat dan terciptanya tujuan pembangunan nasional. Jika dianalisis lagi, tujuan
reformasi administrasi Caiden adalah menyempurnakan atau meningkatkan performance (kinerja). Untuk
meningkatkan performance para
Aparatur Sipil Negara khususnya, dapat dilihat dari keterampilannya, kecakapan,
praktisnya, kompetensinya, pengetahuan dan informasinya, keluasan
pengalamannya, sikap dan perilakunya, kebajikannya, kreativitasnya,
moralitasnya dan lain – lain.
Reformasi administrasi berkaitan erat
dengan pengertian strategi, karena pada dasarnya reformasi administrasi sebagai
aktivitas meningkatkan kemampuan menyelesaikan ketidakberesan administrasi dan
beberapa jenis penyakit administrasi lain. Seperti yang kita tahu, banyak
penyakit administrasi yang disebabkan dari pihak birokrat yang menyimpang, (korup,
pilih kasih, dan tak bisa diandalkan) akan muncul ketidakpercayaan masyarakat
kepada negara.. Untuk itu, diperlukannya input sumber daya aparatur yang baik
agar individu, kelompok dan institusi, dapat mencapai tujuan lebih efektif,
ekonomis, dan lebih cepat.
Sudah seharusnya untuk mendukung
pemerintahan yang bersih dan melayani dengan professional diperlukan (pemimpin
dan pegawai) yang memiliki perilaku sesuai dengan asas-asas yang telah
ditentukan. Untuk mencegah hal tersebut maka dalam kepemimpinan Jokowi saat ini
dilakukan revolusi mental yang dicanangkan dalam Nawacita dan dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Untuk melakukan revolusi mental
birokrasi, maka harus diketahui dan dipahami beberapa nilai dasar yang saat ini
ada dalam birokrasi kita:
1.
Nilai
dasar orientasi kekuasaan, budaya ini dicirikan dominannya pola pikir dan
orientasi para birokrat pada jabatan dan otoritas, budaya minta dilayani serta
ketiadaan sensifitas atas kebutuhan dan pelayanan kepada masyarakat. Budaya
kekuasaan dalam birokrasi ini terutama terbentuk dari proses perekrutan dan
penempatan jabatan yang tertutup, tak berbasis kompetensi dan kinerja;
melainkan kedekatan hubungan baik politik, kekerabatan, kekeluargaan, dan
kemampuan bayar.
2.
Nilai
dasar orientasi pada peraturan perundang-undangan, ini menyebabkan kepatuhan
yang berlebihan, hilangnya daya kritis, tumpulnya daya nalar dan inovasi, serta
lemahnya kreativitas.
3.
Nilai
dasar ego sektoral yang tinggi, Indonesia adalah salah satu negara yang para
birokratnya amat mengedepankan kepentingan unitnya, instansinya, dan sektornya.
4.
Secara
mental birokrasi, Indonesia adalah korup, meski sikap mental korup ini produk
dari kelemahan sistem, hal ini mengganggu jalannya pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat.
5.
Belum
terbangunnya nilai budaya kinerja. Banyak sekali program dan kegiatan yang diadakan
dan dilaksanakan birokrasi yang tak memiliki sasaran strategis, indikator
kinerja, dan target kinerja yang jelas.
Pada prinsipnya, revolusi mental
birokrasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam reformasi administrasi.
Caiden (1969) menyebutnya reformasi budaya. Sebagaimana prinsip reformasi
administrasi, komitmen dan keteladanan pemimpin secara bersamaan akan jadi
syarat dasar keberhasilan. Perubahan model mental butuh contoh keteladanan
pemimpin. Revolusi mental harus dilakukan melalui perubahan sistem. Perubahan
ini ditujukan untuk membangun kompetisi dan keterbukaan dalam birokrasi. Eko
Prasojo (Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Versi
cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 27 Oktober 2015, di halaman 7
dengan judul "Revolusi Mental Birokrasi").
Gerakan revolusi mental birokrasi paling
tidak mencakup 3 (tiga) langkah sebagai berikut:
1.
Mengubah
Pola Pikir (Mind-set). Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam rangka revolusi mental di jajaran birokrasi
adalah mengubah pola pikir, dari birokrasi yang minta dilayani ke birokrasi
melayani, dari birokrasi yang berorientasi kepada keluaran semata (outputs) ke
birokrasi yang berorientasi kepada hasil (outcomes) dan manfaat (benefits).
Dengan perubahan paradigma tersebut, maka segenap ASN sebagai man power-nya birokrasi, akan selalu
hadir di tengah-tengah masyarakat untuk mengayomi, melayani dan mensejahterakan
masyarakat.
2.
Mengubah
Budaya Kerja (Culture-set). Langkah
berikutnya yang dikembangkan adalah mengubah budaya kerja birokrasi, dari
budaya kerja yang lamban, berbelit-belit, kurang kompeten, boros, ego sektor
dan koruptif, ke budaya kerja yang cepat, sederhana, kompeten, hemat, bekerja
lintas sektor dan bersih. Dengan demikian birokrasi pemerintahan ke depan akan
rajin dan tidak akan pernah absen untuk menyelesaikan berbagai.
3.
Menata
Struktur (Management Structure). Birokrasi pemerintahan selama ini kurang
lincah dalam merespon besarnya harapan masyarakat serta derasnya arus perubahan
sosial, budaya, ekonomi dan politik sebagai dampak dari globalisasi. Karena itu
agar birokrasi cepat tanggap dalam merespon berbagai dinamika pemerintahan dan
pembangunan, strukturnya harus ditata agar tepat ukuran (right size), tepat proses (right
process) dan tepat fungsi (right
fungsion). Di era dunia tanpa batas, terlebih saat ini kita sudah memasuki
era MEA, struktur birokrasi sebagai penggerak penyelenggaraan pemerintahan
harus menunjukkan performa yang tangguh, lincah, efektif dan efisien.
Salah satu tantangan terbesar untuk
membangun pemerintahan yang baik terletak pada SDM (Sumber Daya Manusia)
aparatur birokrasi. Good government
membutuhkan SDM aparatur birokrasi yang bersih dan professional dalam melayani
publik. Dalam konteks birokrasi, kata “bersih” merujuk pada pengertian bebas
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Bebas KKN semenjak direkrut sampai
berproses dalam jabatan dan tugasnya sebagai aparatur birokrasi. Menurut Jokowi,
revolusi mental (perilaku) birokrasi lebih mudah dilakukan dengan pendekatan
sistem. Sistemnya harus dibangun untuk memberikan pelayan terbaik pada
masyarakat dengan membasmi budaya korup dan malas. Sehingga salah satu strategi
pemerintah yaitu dalam proses perekrutmen CPNS menggunakan sistem online hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi tindakan KKN dan aparatur yang tidak professional,
seperti pada masa orde baru dimana aparatur berasal dari sistem kenalan,
kekerabatan, dan kekeluargaan saja serta memiliki sistem yang tertutup. Pada
era perkembangan informasi teknologi saat ini, kebutuhan akan tenaga yang
berkompetensi tinggi sangat diperlukan untuk menghadapi perubahan global. Disisi
lain makna profesional, berpengertian bahwa aparatur birokrasi itu memiliki
kompetensi atau keahlian di bidangnya, inovatif, akuntabel, dan menjunjung
tinggi etika dan integritas profesinya. Oleh karena profesional, aparatur
birokrasi itu bekerja responsif-solutif, efektif, dan efisien dalam memberikan
pelayanan publik.
Sedangkan
kelemahan utama kaum behavioralis menurut Lucian Pye adalah kurangnya perhatian
terhadap aspek struktural dalam pembaruan karena adanya kesulitan dalam
menjelaskan persoalan tentang bagaimana individu harus menyesuaikan perilakunya
ketika ia menyatu atau bertindak dalam suatu lembaga yang sudah mapan dan
persoalan mengubah suatu lembaga dengan segera. Ketidakefektifan pendekatan
behavioral dalam pembaruan administrasi sebagian besar bersumber dari besarnya
organisasi pemerintahan dan besarnya problema penyempurnaan administrasi yang
ada. Pendekatan perilaku cenderung memfokuskan perhatiannya pada individu dan
kelompok kecil (small group), dan
karenanya biasanya kurang memfokuskan pada organisasi secara keseluruhan. Atas
dasar itulah, maka pendekatan perilaku sering diberi predikat mikro. (Zauhar, Soesilo. 2002. Reformasi
Administrasi: Konsep, Dimensi, dan Strategi, Cetakan Ketiga, PT. Bumi Aksara,
Jakarta.)
Komentar
Posting Komentar